Al-Quran Waqaf dan Ibtida'

Pengantar

Al-Quran adalah firman Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, melalui Malaikat Jibril, secara berangsur-angsur, sebagai pedoman untuk umat manusia, dan mebacanya termasuk aktifitas ibadah.

Mushaf Al-Quran Al-Qudus PP Yanbu'ul Qur'an
Mushaf Al-Quran Al-Quddus
Pondok Pesantern Yanbu'ul Qur'an,
Kudus, Jawa Tengah


Sejarah Singkat Pembukuan Al-Quran


Susunan Al-Quran mulai dari ayat dan huruf pertama sampai terakhir senantiasa diawasi dan dijaga oleh Allah swt. Allah sendiri yang menyatakan akan menjaga kemurnian Al-Quran sampai akhir nanti.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [QS. Al-Hijr: 9]

Wujud pemeliharaan Allah terhadap kemurnian redaksi Al-Quran di antaranya adalah dengan adanya para penghafal Al-Quran (hafidz-hafidzah) dan dengan ditulis ke dalam lembaran-lembaran. Al-Quran yang ditulis kemudian dikenal sebagai mushaf.

Al-Quran secara berangsur-angsur turun selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Selama kurun waktu tersebut, Nabi Muhammad meminta para sahabat menuliskannya ke berbagai media. Ayat Al-Quran terkadang ditulis di permukaan batu, kulit kayu, pelepah kurma, kulit hewan yang telah dikeringkan, dan sebagainya. Untuk menjaga kemurnian, Nabi melarang menuliskan sabda beliau selain Al-Quran.

Ayat terakhir pun turun. Berarti usia hidup dan masa kenabian Nabi Muhammad juga segera berakhir. Nabi tetap sibuk mengatur umat dan memperluas ajaran Islam ke wilayah-wilayah yang belum terjamah. Sampai saat wafatnya tiba, Nabi tidak memerintahkan membukukan Al-Quran ke dalam satu mushaf.

Hal ini ternyata menimbulkan perdebatan di kalangan sahabat di kemudian hari. Karena semasa Nabi masih hidup, pembukuan Al-Quran tidak tampak begitu penting. Nabi akan dengan mudah membimbing sahabat beliau, bukan hanya membacanya dengan benar, namun juga sampai pada pengamalan Al-Quran.




Mushaf Al-Quran adalah salah satu hasil ijtihad. Yaitu satu ketika dalam sejarah awal khulafaur rasyidin, para sahabat pernah mengkhawatirkan banyaknya hafidz Al-Quran yang syahid di palagan perang. Maka upaya mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran yang terserak menjadi kebutuhan.

Keperluan membukukan Al-Quran semakin terasa ketika banyak para penghafal Al-Quran yang gugur menjadi syahid di medan perang. Hal ini terjadi pada zaman kekhalifahan Abu Bakar. Setelah terjadi debat sengit antara para sahabat, Al-Quran akhirnya disepakati untuk ditulis ke dalam satu mushaf. Tugas ini diberikan kepada Zaid bin Tsabit.

Zaid awalnya menolak tugas ini. Zaid menyadari bahwa tugas mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang terserak dalam tulisan di berbagai tempat dan yang terhafal dalam benak para sahabat tidak akan mudah. Zaid bahkan mengatakan bahwa memindahkan gunung lebih ia pilih daripada melakukan pembukuan Al-Quran. Namun pada akhirnya Zaid menyetujui tugas ini, dan dengan sabar memimpin pembukuan Al-Quran.

Zaid bin Tsabit lalu mengumpulkan tulisan-tulisan yang terserak, memanggil sahabat penghafal yang masih tersisa, lalu menyeleksi dan mengurutkan ayat-ayat Al-Quran secara ketat. Kegiatan ini juga diawasi para sahabat senior.
Kegiatan mengawasi dan mengurutkan surat dan ayat-ayat Al-Quran juga dilakukan oleh Malaikat jibril kepada Nabi Muhammad.

Menjelang selesainya masa kenabian, Malaikat Jibril bahkan beberapa kali memastikan bahwa ayat-ayat Al-Quran terletak sebagaimana seharusnya. Seperti yang kita kenal sekarang ini. Kegiatan ini diteruskan Rasulullah kepada para sahabat. Sehingga kemurnian Al-Quran dan urutan ayat-ayatnya terjaga sampai saat ini.

Seiring perluasan syiar agama Islam, banyak orang di luar bangsa Arab alias ‘ajam, yang kurang dapat memahami tulisan hijaiyah. Masalah ini timbul karena aksara arab kuno tidak memiliki tanda pembeda antarhurufnya.

Upaya penyempurnaan mushaf Al-Qur’an agar semakin mudah digunakan telah berlangsung sejak lama. Dulu, saat pertama kali Al-Qur’an dibukukan sama sekali tidak ada tanda baca titik yang dapat membedakan antarhuruf yang serumpun penulisannya. Tidak ada bedanya antara penulisan huruf ب، ت، ث،  dan ن. Atau seperti س dan ش dan sebagainya. Demikian juga dengan tanda harakat sebagai tanda vokal a, i, u belum dikenal pada zamannya.

Akhirnya muncullah upaya-upaya inventif agar ayat-ayat yang tertulis dalam huruf hijaiyyah menjadi mudah dimengerti oleh semua kalangan. Terutama bangsa non-Arab. Para ulama ahli Al-Quran kemudian memberikan tanda pada masing-masing huruf yang dapat membedakan satu sama lain. Demikian juga dengan penambahan harakat sehingga lebih mudah dibaca.


Pentingnya Penanda Waqaf dan Ibtida'


Tulisan pada mushaf Al-Quran yang kita kenal sekarang sudah merupakan model terkini dari penemuan-penemuan para ulama. Kita hanya perlu memelajari dasar-dasar penggunaan huruf, harakat, dan tanda baca. Jika telah dipadukan dengan penguasaan ilmu tajwid, maka cara membaca kitab suci ini sudah bisa dikatakan tepat.

Meskipun demikian upaya penyempurnaan model mushaf Al-Quran tetap berlangsung hingga saat ini. Dalam perkembangannya ada yang dipadukan dengan teknologi. Seperti perpaduan antara mushaf dan pulpen elektronik. Pulpen ini dilekati sensor yang dapat mengenali hukum tajwid dan cara bacanya pada ayat yang disorot.

Ada pula mushaf berwarna, yakni ketika hukum-hukum tajwid telah ditandai dengan warna tertentu. Misalkan warna merah untuk bacaan ikhfa, hijau untuk idzhar, ungu untuk iqlab dan sebagainya. Selain itu ada pula mushaf yang berinovasi dengan tanda waqaf dan ibtida’ terutama pada ayat-ayat panjang yang tidak cukup dibaca dalam satu tarikan nafas.

Secara pengamalan, menurut pendapat saya, Al-Quran dengan penanda waqaf dan ibtida’ lebih dibutuhkan daripada dengan warna-warni tajwid atau pulpen elektronik. Kenapa demikian? Karena dalam membaca Al-Quran menuntut kemahiran atau pemahaman ilmu tajwid yang benar dan baik.

Pulpen elektronik dan warna-warni tajwid hanya akan menimbulkan ketergantungan. Artinya pembaca akan kesulitan jika beralih pada model teks lain yang lebih polos tanpa perangkat elektronik dan warna-warni tulisan. Walaupun hal ini masih dapat dimaklumi misalkan untuk tahap pembelajaran.
Sementara itu Al-Quran dengan penanda waqaf dan ibtida’ lebih dibutuhkan karena tidak semua pembaca Al-Quran memahami tata bahasa Arab. Waqaf dapat dipahami sebagai proses menghentikan bacaan, sedangkan ibtida’ adalah cara mengawali bacaan.

Dalam proses berhenti dan memulai bacaan Al-Quran secara ilmu tajwid dan gramatikal arab tidak bisa sembarangan. Karena secara makna akan menjadi rancu jika proses waqaf dan ibtida’ tidak sesuai dengan letak kalimat pada sebuah ayat. Terutama pada ayat-ayat yang panjang.

Kalangan yang tidak memahami bahasa Arab akan menemui kesulitan dalam menentukan tempat berhenti. Wujud kesalahannya bisa saja dalam bentuk pembacaan kalimat yang tidak sempurna, kata yang terpenggal, huruf yang tertinggal atau salah dalam memperlakukan bunyi huruf.

Bisa jadi huruf yang seharusnya panjang dibaca mati, atau sebaliknya huruf yang seharusnya mati dibaca pendek.

Sebenarnya pemenggalan ayat berdasarkan kontekstual kalimat bahasa Arab sudah ada dalam tanda-tanda waqaf. Ada enam tanda waqaf dalam Al-Quran yakni waqaf lazim/م, waqaf jaiz/ج, waqaf la taqif/, waqaf mu’anaqah/ ... , al-waqfu awla/قلى, dan al-washlu awla/صلى.

Waqaf lazim artinya dilarang waqaf, waqaf jaiz boleh waqaf atau pun washal, waqaf la taqif jangan berhenti, waqaf mu’anaqah berhenti di salah satu tanda, al-waqfu awla sebaiknya berhenti, dan al-washlu awla sebaiknya washal.

Namun tanda-tanda waqaf di atas tidak memiliki fungsi ibtida’. Secara umum fungsi tanda-tanda waqaf di atas adalah untuk memotong bacaan tanpa perlu mengulangi lagi. Sehingga jika sudah berhenti pada satu tanda baca tinggal melanjutkan saja.

Sedangkan pada mushaf dengan waqaf dan ibtida’ ada fungsi berhenti dan cara memulai kembali.

Dalam mushaf yang mengandung waqaf dan ibtida’ semua tanda-tanda waqaf di atas dan identitas lain sesuai standar Al-Quran tetap ada, namun bertambah lengkap dengan tanda bacaan berhenti dan tempat mengawali kembali pada ayat-ayat panjang.

Contoh mushaf yang dapat dijadikan rujukan adalah Mushaf Al-Quddus dari Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kudus, Jawa Tengah. Dalam Mushaf ini sudah tertera tanda waqaf dan ibtida’ yang dapat memudahkan saat menemukan ayat-ayat panjang. Tanda yang digunakan mirip dengan tanda >< seperti (>ايات/كلمات<) . Perhatikan gambar berikut

Al-Quran Waqaf dan Ibtida'

Penanda waqaf dan ibtida' pada Mushaf Al-Quddus

Namun dalam menggunakan mushaf ini, pembaca harus mengerti model tulisan yang berbeda dari yang lazim digunakan di Nusantara. Karena tulisan yang digunakan dalam mushaf ini menggunakan metode Rasm Utsmani. Yakni model tulisan yang mirip dengan tulisan Al-Quran Hijaz dari Arab Saudi.

Mushaf lain dengan waqaf dan ibtida’ ada yang menggunakan simbol tombol pause () and play () seperti perangkat elektronik. Simbol pause untuk bacaan waqaf, dan simbol play untuk ibtida’. Simbol ini ditambah dengan penanda warna.


Penutup


Pilihan yang mana pun semoga dapat memudahkan pembacaan Al-Quran dengan baik dan benar. Tujuan dari inovasi ini adalah agar menyelamatkan pembaca dari kesalahan yang tidak perlu saat membaca Al-Quran. Dengan demikian bacaan Al-Quran bisa lebih mudah dihayati, dan maksud yang terkandung dalam kalimat-kalimat Al-Quran juga tidak rusak.

Semoga pahala yang didapat juga semakin sempurna.

Wallahu a’lam.

Posting Komentar untuk "Al-Quran Waqaf dan Ibtida'"