Aku Suka Al-Quran
Di sebuah pusat pendidikan Al-Quran. Suatu sore dua sahabat duduk di teras depan. Mereka menghadap ke persawahan yang tumbuh subur kehijauan. Butiran kacang menemani mereka sore itu.
Sebenarnya mereka baru tiba dari bepergian. Setelah ziarah ke beberapa tokoh ulama, teman, dan ke sebuah makam kyai untuk mencari nasehat dari mereka, berbagi pengetahuan, dan mengingatkan diri agar tidak lupa pada kematian.
Pandangan mereka mulai santai. Jari jemari mulai menari di atas butiran kacang. Ada pula minuman kopi. Sore yang begitu damai. Perbincangan pun dimulai.
"Aku suka Al-Quran," kata Dian.
"Kenapa," tanya Allafa.
"Karena dengan Al-Quran aku jadi lebih dekat dengan Tuhan," kata Dian lagi.
"Maksudmu bagaimana? Apa dengan membaca Quran kamu bisa jadi melihat Tuhan?"
Dian menitikkan air mata.
"Tidak."
Allafa berkedip.
"Tuhan tak akan terjamah dengan mataku. Kita ini makhluk lemah. Cahaya matahari saja bisa membuat kita terluka."
Ada perasaan meletup di dada Allafa mendengar perkataan Dian.
"Sedangkan Tuhan yang menciptakan matahari, mencipta semesta. Bagaimana aku dapat melihat-Nya dengan pandangan mata manusia yang serba terbatas ini."
Kini Allafa menarik nafas panjang. Pembahasan ini mulai cukup menarik hatinya.
"Teruskan," katanya.
"Manusia memang tergantung panca indra dalam merespons sekitarnya, termasuk menggunakan mata. Tetapi kita tidak bisa menolak mengakui bahwa pandangan mata kita memiliki keterbatasan bukan?"
"Benar. Aku bisa memahaminya. Mata kita justru tidak lebih hebat dari beberapa hewan. Contohnya mata elang dan kucing."
"Ya, mata kucing sangat hebat di malam hari. Mata elang dapat melihat detail yang sangat kecil. Dari ketinggian."
"Tetapi bukannya mata manusia dapat melihat benda-benda yang sangat kecil. Dengan bantuan mikroskop."
Mendengar perkataan Allafa, Dian mengerling.
"Juga dengan mata yang sederhana ini, dibanding beberapa hewan tadi, manusia bisa menjamah galaksi. Ruang angkasa yang begitu gelap ternyata berisi milyaran bintang. Dengan bantuan teleskop. Kita juga tidak benar-benar tidak bisa melihat matahari. Dengan penyesuaian cahaya kita bisa melihatnya. Bahkan bisa melihat aktifitas lidah api dari matahari yang fenomenal."
Kini giliran Dian yang menarik nafas dalam-dalam.
"Kamu benar. Cuma apa kamu dapat menyimpulkan dari apa yang kamu tuturkan tadi. Seperti tentang mikroskop dan teleskop."
Allafa bengong. "Apa ya?" Dia berkedip penuh arti.
"Artinya mata ini butuh alat untuk membantunya melihat sesuatu yang sangat besar atau pun sangat kecil. Tanpa bantuan alat, mata manusia tidak akan mampu. Mata sendiri merupakan alat penglihatan bagi manusia."
"Terus apa hubungannya dengan Al-Quran? Hal ini belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Apa dengan Al-Quran kamu jadi bisa melihat Tuhan?"
"Jawabannya masih 'tidak'," jawab Dian terkekeh.
"Terus bagaimana dong?" kini Allafa mulai bersungut-sungut. Ada gatal yang tidak bisa digaruk di hatinya.
"Begini lo," kata Dian sambil membenarkan posisi duduknya. "Untuk melihat benda alam saja manusia butuh bantuan, apalagi kalau ingin melihat Tuhan."
Mata belok Allafa mulai beraksi. "Apa Tuhan bisa dilihat dengan alat, seperti teleskop atau mikroskop gitu?" tanyanya sambil berkedip.
"Tentu saja tidak," jawab Dian. "Tentang melihat Tuhan, logikanya tidak bisa disamakan dengan melihat benda alam."
"Kenapa begitu?"
"Karena Tuhan kan bukan benda alam," jawab Dian tegas.
Allafa agak terkejut dengan jawaban itu. Ada yang menyentak dadanya.
"Terus?"
"Ya karena Tuhan yang menciptakan benda alam, maka dalam melihat-Nya tidak sama dengan cara melihat benda alam."
"Tunjukkan padaku lebih terperinci. Aku tertarik dengan jawabanmu," ucap Allafa antusias.
"Sederhana saja," kata Dian menanggapi. "Kalau dalam melihat benda alam manusia yang mencari-cari cara dan alatnya. Sedangkan dalam melihat Tuhan, Tuhanlah yang menunjukkan jalan-Nya."
"Aku … agak … faham. Tapi terangkan lebih lanjut lagi," tanggap Allafa agak terbata-bata.
"Ya, Tuhan itu dalam menunjukkan Diri-Nya dengan cara memberi tutorial kepada manusia. Karena Tuhan bukan benda mati. Dia adalah Subyek, artinya tidak dikendalikan manusia. Dialah yang mengendalikan semesta. Jadi hanya Dia yang dapat membimbing manusia untuk melihat-Nya. Tentu bukan dengan mata kepala ini. Tetapi Tuhan mau manusia mengenal Diri-Nya. Makanya Dia menjadikan agama dan menurunkan Al-Quran, mengutus malaikat dan para rasul, tujuannya untuk kembali mengenalkan manusia kepada Tuhan. Kepada Diri-Nya."
"Menurutmu kenapa Tuhan mau repot-repot melakukan semua itu?" tanya Allafa penasaran.
"Karena dengan panca indra, termasuk mata tadi, manusia telah tertipu dengan keadaan yang bersifat manusia. Dalam berfikir manusia tergantung pada akal, dan akal bisa dipengaruhi oleh berbagai sebab. Termasuk anggapan yang diterima oleh panca indra. Padahal panca indra pun penuh keterbatasan. Artinya panca indra juga dapat memberikan informasi dan persepsi yang salah terhadap akal. Ilmu pengetahuan pun bisa membuktikan kelemahan panca indra," jawab Dian panjang kali lebar.
Krik, krik. Perbincangan mendalam biasanya akan menyisakan ruang berpikir. Proses berpikir. Mencerna pemahaman. Begitulah akal belajar. Tak lama kemudian Allafa Pun menanggapi.
"Iya ya. Kiat melihat langit di siang hari berwarna biru, padahal sebenarnya warna itu hanyalah penghamburan cahaya matahari yang mengenai atmosfir bumi. Warna biru hanyalah warna terjauh yang dapat diterima mata manusia. Sementara sinar merah dan ultraviolet luput dari pandangan kita."
"Nah, itu tahu. Panca indra juga sering tertipu dengan fenomena petir dan gemuruhnya," jawab Dian sambil mengunyah sebiji kacang. Teman mereka mengobrol sore itu.
"Betul sekali. Mata kita melihat petir manyambar, tetapi suara gunturnya baru menyusul kemudian. Tetapi seolah-olah petir dan suara gelegar itu terpisah. Padahal sebenarnya berasal dari satu sumber kejadian yang sama."
Dian manggut-manggut mendengar tanggapan itu.
"Baiklah. Kembali ke Al-Quran yang tadi dong," pinta Allafa lagi.
"Ya, jadi manusia bisa sering tertipu dengan fenomena-fenomena kejadian dalam semesta. Makanya Tuhan penting memberikan petunjuk agar manusia tidak salah persepsi. Tidak salah langkah. Tidak tersesat. Saat ini saja bisa jadi manusia beranggapan bahwa matahari mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengitari matahari. Sebenarnya matahari juga beradar, tetapi bukan mengelilingi bumi, melainkan melayang mengitari galaksi."
"Ya, ya. Kita juga tidak sadar ya bahwa bumi melesat ribuan kilometer per menitnya dalam mengitari matahari. Luar biasa," jawab Allafa menimpali.
"Padahal itu baru fenomena semesta," lanjut Dian dengan tatapan panjang ke tepian sawah. "Tuhan ingin menyadarkan manusia ada fenomena lain yang terjadi di balik fenomena di alam semesta ini."
"Apa itu?" tanya Allafa.
"Dibalik detail terkecil serta luasnya alam semesta ini masih ada alam lain yang tidak terjamah panca indra manusia. Tuhan ingin menyadarkan itu. Dengan agama dan kitab suci Al-Quran."
Allafa manggut-manggut. Entahlah, kenapa bisa kedua orang ini memberikan respons secara bergantian seperti itu.
"Nama dan jenis alam lain itu bermacam-macam, kita hanya diberi kesimpulan besar tanpa mampu membuktikan saat ini bahwa alam itu ada. Alam lain itu adalah alam gaib. Di puncak langit misalkan, ada keterangan bahwa semesta akan binasa. Kita tidak mengetahui itu hingga Tuhan menginformasikannya. Melalui para malaikat dan lisan para rasul. Dengan agama dan Al-Quran Allah mengingatkan ada kenyataan lain yang harus dihadapi manusia. Karena Tuhan bersikap kasih sayang, Dia tidak mau meberi kejutan tanpa memperingatkan. … ," …
"Tunggu! Bagaimana dengan melihat Tuhan tadi?" potong Allafa. Proses potong-memotong ini memang agak tidak menyenangkan dalam sebuah percakapan.
"Baikah, langsung saja kalau begitu. Dengan Al-Quran kita memang tidak dapat melihat Tuhan. Tetapi melalui kitab ini kita bisa berdekat-dekatan kepada-Nya. Kita memang tidak melihat-Nya, tetapi kita bisa jadi merasa dekat dengan adanya firman-firman-Nya. Kita tidak bisa melihat-Nya dengan mata, tetapi kita bisa mengetahui-Nya dengan rasa. Bukankah kebenaran Al-Quran tidak terbantahkan? Hal ini tidak mungkin terjadi jika Al-Quran bukan firman dari Tuhan Pencipta semesta alam. Karena itu dengan membaca Al-Quran aku merasa menjadi lebih dekat dengan-Nya. Al-Quran menjadikan aku merindukan Tuhan. Dengan membaca Al-Quran aku merasa semakin dekat dengan Tuhan," kata Dian sambil berkaca-kaca. Tak lama kemudian menitiklah air mata itu. Banyak.
"Subhanallah. Kamu benar sahabatku," Allafa menimpali. "Kini aku juga bisa merasakan kerinduan itu."
"Ya …," ucap Dian tertahan. Air mata itu mulai menjadi isak yang tertahan. Dadanya dipenuhi kerinduan. Hidung dan wajahnya memerah, matanya sembab jangan lagi dipertanyakan
"Aku ingin belajar Al-Quran," kata Allafa.
Seketika Dian mengehentikan tangis dan mengangkat kepalanya. Lalu memandang Allafa.
"Aku ingin lebih dekat dengan Tuhan," kata Allafa lagi.
"Aku mulai suka dengan Al-Quran. Aku ingin mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Aku juga mulai merindukan-Nya.
AKU CINTA AL-QURAN
Begitu bunyi slogan pada plang penanda lembaga pendidikan Al-Quran. Sore itu berakhir temaram. Tanaman padi kehijauan bersemilir diterpa angin.
Angin itu bertiup ke satu tujuan. Bisa jadi membawa manfaat atau justru petaka ke tujuan.
Angin itu bertiup dari suatu arah, bergerak mengikuti suatu hukum alam.
Sesungguhnya angin itu tunduk mengikuti perintah Tuhan.
Karena Tuhanlah yang menciptakan alam.
Sendirian.
Posting Komentar untuk "Aku Suka Al-Quran"
Posting Komentar